[Opini]
TAK ada hal lain yang ditunggu penambang, khususnya penambang skala kecil, sebutlah penambang TI Sebu, selain Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Namanya saja “Pertambangan Rakyat”, secara umum bisa dipahami bahwa rakyat (pribadi atau kelompok) boleh menambang.
Sekilas perizinan IPR yang dijanjikan terdengar manis, solutif. Ia ibarat oase ditengah gurun. Sebuah harapan ditengah ketidakpastian nasib penambang yang tidak memiliki modal besar menambang di laut plus SPK dari PT Timah.
Modal besar untuk membuat ponton dan mendapatkan surat sakti bernama SPK bukan hal mudah bagi penambang kecil.
Lama dinanti, hari berganti, bulan berganti, Pemilu 2024 sudah lewat, janji IPR tak jelas arahnya.
Sebelumnya sekitar awak 2024, Pj Gubernur Babel, Syafrizal mengatakan IPR akan rampung. Namun hingga awal Juli 2024, wacana itu masih misteri.
Seperti biasa pemimpin kita memiliki jawaban template. Khas dan identik. Jawaban seperti: Iya, IPR akan segera terbit tapi masih menunggu sinkronisasi di pusat. Jawaban yang bikin mual.
Tak ada kepastian. Sementara puluhan ribu penambang harus bekerja. Tak bekerja, ya “sesak nafas”. Beras dan kebutuhan lain harus ada. Tak bisa ditunda.
Kembali ke IPR.
Dilansir dari berbagai media, pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah menerbitkan Wilayah Pertambangan Timah (WPR) sebagai kepastian wilayah dan Kabupaten Bangka Tengah mendapat kuota sekitar 80-an blok.
Meski WPR sudah diterbitkan, mengingat IPR masih digodok, percuma. Penambang yang tidak mengantongi Izin akan berhadapan dengan aparat kepolisian. Mereka akan dijerat dengan penambang ilegal.
Disisi lain, WPR yang sudah diterbitkan Kementerian ESDM masih memiliki pertanyaan: Apakah di blok tersebut ada kandungan timah atau jangan jangan sudah habis atau sudah ditanami sawit oleh masyarakat?
Jika demikian WPR tidak menjawab persoalan. Sebab pada akhirnya para penambang akan bergeser ke lokasi dimana ada kandungan Timah dan menghindari gesekan dengan rakyat di kampung.
Belum lagi bicara jaminan reklamasi sesuai amanat UU Minerba. Siapakah yang akan menanggung? Jika dibebankan ke Pemda maka seorang Bupati harus berkonsultasi dengan DPRD, itu menyita waktu.
Hemat penulis, meski IPR bukan solusi yang paripurna, semakin cepat pemerintah menerbitkan IPR, seiring waktu akan terjawab.
Namun jika IPR menjadi bahan pencitraan pemerintah, atau dijadikan “alat barter politik” menjelang Pilkada Nopember 2024 maka sejatinya IPR itu buah Simalakama: Diterbitkan Kas Pemda untuk Jarek terkuras, bijih timah mengalir ke pangkuan kolektor yang didanai para oligarki Timah (*)
Ditulis oleh Mangimpal Sihombing Lumbantoruan
Ketua Bidang Klarifikasi dan Pelaporan DPW LSM Gerakan Bersatu Rakyat Anti Korupsi (GEBRAK) Babel